Cerita Sepanjang 2016




Tulisan ini hanyalah catatan pribadi sepanjang 2016. Hanya sesuatu yang sangat personal. Sengaja ditulis agar dikemudian hari saya ingat lagi bahwa setahun lalu adalah perjalanan panjang dan saya pernah benar-benar berjuang menujunya

Niat menuliskan catatan ini sudah ada sejak minggu terakhir Desember, tapi seperti semua kejadian sepanjang tahun 2016, hal-hal tak terduga selalu saja bermunculan dengan tiba-tiba. Terkadang membuat rencana yang sudah tersusun rapi malah jadi berantakan dan memaksa saya harus benar-benar putar otak menyusun langkah baru. Jadilah akhirnya baru sempat saya selesaikan sekarang

Medan, 2 Desember. Hujan deras dan dingin menyergap. Tapi anggaplah sekarang saya sedang di hari ke 366 pada 2016. Saya akan bercerita seolah-olah ini adalah hari terakhir di Desember yang sesak dan penuh resah.

Saya suka perjalanan awal tahun di 2016. Akhir Desember 2015 saya putuskan pulang dan memilih melewati pergantian tahun di rumah. Menghindari hiruk pikuk kota Medan, menghindari keramaian perayaan pergantian tahun dengan kumpul, makan bersama, mainkan kembang api dan duduk melingkar utarakan resolusi seperti yang saya lakukan tiga  tahun terakhir bersama teman-teman di organisasi. Saya pilih pulang, melewatkan pergantian tahun dengan membaca buku hingga tertidur. Tidur dalam sepi dan menemu bahagia

Tahun ini sebuah tanggung jawab besar yang saya emban di organisasi resmi lepas. Jika catatan-catatan akhir tahun sebelumnya selalu didominasi cerita tentang rumah kedua tersebut, maka catatan kali ini akan berbeda. Catatan ini adalah mozaik baru dari perjalanan hidup saya usai tak lagi di rumah tanpa jeda.

Saya tak pernah punya resolusi. Tipe wanita pengikut arah angin tanpa punya target tertentu. Tapi, tahun ini saya tekadkan fokus saya hanya satu. Kembali ke kampus! Menjalin hubungan baik kembali dengan dunia kampus—bukan berarti selama ini enggak baik tapi ya, begitulah— meluangkan banyak waktu untuk orang-orangnya, urusannya dan segala macam masalahnya. Mengejar ketertinggalan, ancang-ancang supaya bisa sarjana di akhir tahun.

Januari saya penuh dengan hal positif. Mulai dari menyempatkan diri belajar serius dan mengulang materi pelajaran di malam-malam jelang Ujian Akhir Semester—hal yang selalu saya lakukan di semester awal perkuliahan dan berhenti di dua tahun terakhir—, diajak membantu mengerjakan salah satu proyek usaha seorang teman bersama beberapa rekan lain, belajar design dan kembali menggambar. Cerita Januari ditutup dengan kabar bahagia. Oleh seorang alumni di organisasi, saya dapat tawaran pekerjaan yang menyenangkan.

Februari dan Maret berlalu. Saya masuk semester 8. Menjalani waktu sebagai mahasiswa semester akhir, saya mengulang satu mata kuliah yang gagal di semester sebelumnya. Selebihnya, saya ceklis mata kuliah seminar proposal dan skripsi di portal akademik. Saya memnag tak yakin studi saya selesai di semester ini, tapi yang penting saya sudah memulainya. Disela-sela kerja, saya siapkan diri.

Tapi hingga akhir semester 8 masalah tugas akhir ini tak kunjung usai. Ada banyak sekali masalah eksternal yang menghambat. Padahal saya pribadi tengah semangat-semangatnya! Ini masa-masa emosi terkuras habis, masa-masa mengutuk diri lalu mencari pembenaran meleha-lehakan skripsi. Pun, saya dapat tawaran kerja lain jadi reporter di sebuah media online. Mau tak mau, perhatian untuk fokus pada skripsi buyar.

Saya sempat dilarang ibu untuk kerja apalagi di dua tempat sekaligus. Ibu benar-benar khawatir saya tak lagi fokus mengejar target sarjana tahun ini. Tapi, seperti biasa saya coba yakinkan beliau. Dengan sombong saya bilang, perkara kemampuan membagi fokus dan mengatur waktu justru diri saya sendiri yang lebih tau bagaimana caranya. Ia mengalah. Jadilah akhirnya tanggung jawab saya bertambah meski tentunya waktu untuk melakukan hal lain berkurang.

Teruntuk Ibu,
Dipenghujung tahun ini barulah saya sadari kalau ‘saya yang terlalu yakin’ saat itu adalah sebuah kesalahan. Lebih merasa bersalah lagi sebab yang saya debat saat itu adalah ibu. Orang yang sebenarnya lebih paham diri saya ketimbang saya sendiri.

Juni saya di rumah. Saya kerja dari rumah, liputan di Aceh. Saat pulang pada momen lebaran saya bosan dan tertekan dicecar pertanyaan yang sama oleh sanak saudara, juga tetangga. Kapan wisuda? Kapan wisuda? Sama anak Pak Itu seumuran kan? Dia udah wisuda! Saya jawab sekenanya. Sejak saat itu saya putuskan itu adalah pulang kampung saya yang terakhir sebelum sarjana. Saya tak akan pulang kampung kecuali saya selesai sidang. Ibu tertawa. Saya diam. Saya serius.

Masalah kesehatan keluarga juga cukup jadi perhatian setahun ini. Ibu, nenek, kakak masuk rumah sakit bergantian. Pertengahan Juni ibu masuk rumah sakit, gejala tifus. Di rumah sana ibu hanya bertiga bersama adik. Saya tengah liputan saat siang itu adik perempuan saya menelpon hingga dua belas kali dan tak saya angkat. Ia panik dan minta saya pulang malam itu juga sebab tak tau harus berbuat apa melihat ibu yang tak berdaya.

Pertengahan September justru dapat kabar nenek yang masuk rumah sakit. Padahal sebelumnya nenek baik-baik saja, sehat walafiat. Melalui telepon ibu cerita kalau nenek harus masuk rumah sakit karena tiba-tiba tak bisa bangkit. Tak ada yang tau kenapa tapi dari anamnesa dokter penyebabnya karena jatuh. Nenek tak ingat kapan dia jatuh, orang rumah tak tau kalau nenek pernah jatuh. Tapi syukurnya sekarang nenek kembali sehat. Semoga nenek selalu dalam lindungan Allah. Jika ingat nenek saya selalu ingin pulang, memeluknya dan makan masakannya.

Akhir September malah kakak yang masuk rumah sakit. Dia demam dengue. Saya rasakan energi saya benar-benar nyaris habis September lalu. Dua adik saya sibuk kuliah, tak punya banyak waktu jika harus jaga di rumah sakit. Saya mengalah. Tenggat pekerjaan, bolak-balik rumah sakit, tak tidur bermalam-malam, menyelesaikan beberapa masalah lain, saya benar-benar ingin menyerah. Saya tak lupa bagaimana pagi-pagi ketika akan pulang ke rumah dari rumah sakit saya ditabrak becak dan becaknya kabur padahal dia sudah janji mau perbaiki lampu dan kap kereta yang pecah ditabraknya. Saya merengek pada ibu dan berhambur dalam pelukannya saat keesokan hari ibu datang membawa kakak pulang dari rumah sakit. September lalu adalah kali pertama saya menangis sepanjang perjalanan tahun 2016

Oktober dan November berlalu. Akhir tahun datang jua, sedih saat ingat keinginan yang hanya satu itu tak tercapai. Tapi saya sadar, usaha saya memang belum maksimal terlepas dari banyaknya masalah eksternal yang menghambat. Pelajaran berharga sepanjang tahun ini adalah; ketidakmungkinan menangkap dua kelinci hanya dengan satu tangan. Saya pikir memang harus ada yang dilepas saat saya ingin menggenggam sesuatu yang lain.

Awal November saya ditinggal pergi orang-orang baik. Rasanya benar-benar sedih. Mereka yang pergi adalah orang-orang terbaik yang punya peran penting mengubah hidup saya. Mereka ada untuk meyakinkan kala saya ragu, mengingatkan kala saya mulai lupa, menegur saat salah dan memaksa saya yakin pada kekuatan diri sendiri. Tentu jika ada kesempatan kami akan bertemu lagi, toh kesempatan itu kami yang ciptakan. Jarak juga bukan alasan yang penting ada kemauan. Tapi tetap saja, saya tak bisa biasa-biasa. Saya takut semua akan berbeda. Saya tak suka ditinggal, saya benci perpisahan. Meski kelak sayapun akan seperti mereka, pergi dan meninggalkan. Mencari hidup baru, menemukan jalan lain selain jalan yang sekarang

Setahun ini saya kembali ada dipelukan teman-teman terbaik, menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka. Bahu mereka selalu lebar dipakai bersandar. Saat demam dan sakit kepala rasanya tak perlu obat, hanya perlu bertemu mereka dan bisa kembali sehat lagi. Cabe!

Masalah perasaan juga agaknya tak biasa. Sepanjang tahun ini saya sibuk menerka-nerka perasaan seseorang. Barangkali ia pun demikian. Ia menghubungi terlalu sering tanpa tau apa tujuannya. Saya bingung. Pun, keputusan saya untuk meresponnya. Saya lebih bingung. Ini kali pertama saya merespon orang yang tak begitu saya kenal dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Ia hadir sebagai teman cerita yang baik. Ini bukan situasi yang baik buat diri, saya takut terjebak dalam euforia bawa perasaan. Padahal saya tak ingin menambah beban hidup dengan memikirkan hal remeh-temeh berbau perasaan. Saya tak suka. Sebab itu saya menyibukkan diri dengan ikut berbagai kegiatan, bergabung menjadi volunteer selain tetap liputan dan ngajar tentunya. Biar alam yang atur semua, barangkali alam lebih tau apa yang semestinya terjadi.

Desember tiba. Penghujung tahun ini ditutup dengan perasaan dongkol yang luar biasa saat pertengahan minggu lalu seseorang yang busuk hati mengajak saya ngobrol. Berdua. Ia menguji-nguji idealisme saya. Ia yang harusnya suci justru sangat culas dan hina. Saya benar-benar tak menyangka. Saya ingin marah di depannya tapi keadaan bilang tak boleh. Saya ingin lepas darinya tapi dia dan saya terikat sebuah tali yang sangat kuat, yang hanya bisa lepas hanya jika waktunya tiba. Saya benar-benar mau meledak dibuatnya. Ia berhasil buat saya menangis, tangis kedua sepanjang tahun ini. Ini sengaja saya tulis, karena saya ingin mengenangnya sebagai manusia paling lacur yang saya kenal seumur hidup saya!

2016 berakhir. Semua yang berlalu adalah cerita yang darinya harus terpetik hikmah. Menimang-nimang mana yang baik untuk disyukuri dan menjadikan kesalahan sebagai bahan evaluasi diri. Toh, semua pelajaran hadir untuk mendewasakan. Terimakasih Allah untuk segenap kehidupan yang masih berkenan engkau berikan hingga hari ini. Terimakasih juga untuk kalian yang selalu ada sepanjang tahun ini, Aku sayang kalian.

Awal yang baru sudah datang. Mari bersiap menyambutnya dengan lebih baik. Terutama bersiap jadi sarjana! Hahaha.

Comments

Popular Posts