Phill Ichwan Azhari: Pantang Tak Lantang Suarakan Kebenaran Sejarah


Phill Ichwan Azhari (kiri) pada acara peluncuran buku di Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Negeri Medan

Harusnya, sejarah dapat mencerdaskan bangsa. Sayangnya, memori sejarah bangsa sudah terlalu banyak dikonstruksi negara. Baiknya, Indonesia harus mempelajari masa lalu dengan lebih adil. Akhirnya, “saya hanya ingin menghentikan pembodohan sejarah lewat pendidikan,” begitu Ichwan berujar.

“Bisa bapak tunjukkan dimana tempat bapak bertempur?”
“Bapak pakai bambu runcing bersama pasukan di sekitar Medan ini?”,“Ini penting untuk pembelajaran sejarah.”
“Apa bukti sejarahnya?”
Cecaran pertanyaan ingin tahunya malah dibalas oleh tawa besar sang empunya kisah. Ia kebingungan. Sambil terus tertawa, lawan bicaranya menggebrak meja. Balik bertanya padanya.
“Percaya kau?” tanya laki-laki dihadapannya.
“Justru karena tak percaya maka saya bertanya pada bapak,”jawabannya berbalut rasa penasaran yang makin menjadi-jadi.
“Tak ada itu!” jawab lawan bicaranya. “Tak bisa saya tunjukkan.”
“Ngapain pakai bambu runcing. Kita punya senjata. Supermodern semua,” sambung lawan bicaranya kala itu.
“Dapat darimana, Pak?”
“Jepang.”
“Rampok?”
“Kasih,” “Pura-pura aja kita rampok”
Ichwan tengah mengenang percakapannya empat tahun lalu bersama Barnang, Ketua Dewan Harian 45. Kecurigaannya pada wacana sejarah yang disajikan bangsa mengusik pikirannya. Sikap kritisnya muncul. Ia pilih bertanya langsung pada Barnang, saksi hidup pejuang yang ikut bertempur langsung di sekitar Medan saat 1945.
Kecurigaannya terbukti melalui jawaban Barnang. Tak hanya pada Barnang, setiap ada pejuang, ia lontarkan pertanyaan yang sama. Fakta-fakta sejarah lainnya ia susun, kepingan-kepingan fakta yang ia kumpulkan mengantarkannya pada kebenaran yang justru berbeda dengan apa yang selama ini bangsa ketahui. Ia berburu kisah dan gambar yang merekam memori perjuangan pahlawan mengalahkan penjajah dengan menggunakan bambu runcing. “Tak saya temukan,” terang Ichwan menjelaskan.
“Lihat aja tugu perjuangan di Binjai itu,” “Yang dipegang ditangannya itu granat, terbukti waktu itu kita sudah mengenal senjata supermodern.” Paparnya menyakinkan.
“Logikanya itu pertempuran jarak jauh”, dan menurutnya tak masuk akal pemenang Perang Dunia ke II dikalahkan dengan senjata primitif. “Kayak film kartun aja jadinya,” ujar Ichwan. “Sisingamangaraja pun bertarung dengan keris, kok tahun 45 malah pakai bambu runcing?” terangnya.
Kekritisan nya tak hanya perihal bambu runcing yang diyakini sebagai senjata perjuangan. Ia tak setuju pada Sumpah Pemuda, “Kongres Pemuda memang ada. Tapi Sumpah Pemuda baru dicetuskan Soekarno pada tahun 58.”
Ia menolak Kartini. “Rohana Kudus lebih dulu,” ungkapnya.
Rohana Kudus lebih dulu mendirikan sekolah, sedang Kartini tak sempat. “Baru setelah ia meninggal, teman-temannya mendirikan sekolah untuk melanjutkan cita-cita Kartini.” Rohana Kudus menjadi guru di Lubuk Pakam sekaligus pemimpin redaksi sebuah Koran di Medan. “Tapi, ia tak dikenal dalam sejarah,” Ichwan menyayangkan.
Pilihannya untuk memandang fakta sejarah melalui kacamata berbeda bukan tanpa alasan. Salah satunya,kekhawatirannya pada gerakan nasionalisme Indonesia yang sudah dikonstruksi secara keliru. “Saya ingin menghentikan pembohongan itu lewat jalur pendidikan.”
Begitulah Ichwan, pantang tak lantang menyuarakan kebenaran sejarah. Ia meyakini semua hasil ulasannya, sebab yang ia lakukan adalah mengumpulkan fakta sejarah. Mengkaji kembali sejarah. Sebagai seorang guru yang mendidik guru, kepada murid-muridnya Ichwan tegaskan, hentikan memberitahukan kebohongan sejarah kepada para siswa di sekolah.

Berusaha mengulik banyak fakta sejarah. Tak jarang orang-orang menganggapnya sejarawan kontroversial, pun dirinya sendiri. Tapi, “Sejarah bukan hanya milik sejarawan,” Ichwan menegaskan semua orang harus tau kebenaran sejarah.
Usman Pelly, Senior Ichwan dalam kegiatan-kegiatan akademik tak heran dengan pemikiran-pemikiran radikal yang dikemukakan Ichwan. Sekitar tahun 1975, Ia yang kala itu menjabat sebagai Direktur Lembaga Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan melihat banyak hal berbeda dari Ichwan.
Usman mengenang Ichwan yang kerap kali melakukan kegiatan-kegiatan yang menonjol kala menjadi asistennya dulu. “Ia punya ciri akademikus kreatif,” terang Usman. Sedari dulu Ichwan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap fakta sejarah dan tak pernah puas dengan apa yang ada. “Banyak orang yang merasa cukup dengan apa yang sudah ia ketahui, tapi Ichwan selalu ingin tahu lebih banyak.”

Disertasinya tentang pemikiran politik dalam sejarah melayu jadi salah satu yang Usman apresiasi. Ia hapal kegigihan Ichwan mencari kebenaran, “Dia meneliti naskah-naskah tua orang melayu,” menelusuri fakta serta berburu data. Banyak hal kontroversial yang orang-orang  terima begitu saja, tapi Usman bilang orang seperti Ichwan mampu melihatnya dari kacamata yang lebih kritis.

Usman pun paham betul perihal kekhawatiran Ichwan akan fakta sejarah yang sudah terlalu banyak ‘teridealisasi’ agar kelihatan lebih hebat nan menawan.”Itu sebab dia tak diam, historian memang harusnya seperti dia.” Ketakutan akibat fakta sejarah yang sudah dikonstruksi menyebabkan kelumpuhan psikis agar bangsa tak kritis lagi. Ichwan mengupayakan penyajian sejarah yang sebenarnya bukan yang apa adanya, terang Usman

Harus Aksi, Pantang Berdiam Diri

“Saya ilmuwan, bukan aktivis,” Ichwan tegaskan dirinya. “Saya turun ke lapangan, action.”

Sebagai sejarawan, ia rasa pantang berdiam diri. Terlebih ketidakpercayaannya pada pemerintah, menyokongnya lebih kuat untuk aksi. Bergerak sendiri. Ia pilih gagas dan rintis sendiri semua peninggalan sejarah. Museum Situs Kota Cina, misalnya. Museum yang terletak di Kecamatan Medan Marelan ini adalah buah aksinya menyelamatkan peradaban. Benda-benda yang diperkirakan  berasal dari abad XII-XIV SM tersimpan baik disini. “Sebuah kota yang beradab adalah yang punya memori masa lalu dan memorinya tersimpan dengan baik.”

Ichwan tak pernah berandai-andai pada uluran tangan pemerintah kala awal ia merintis Museum Situs Kota Cina. Pemerintah datang belakangan, mendirikan gapura, memberikan kaca pada patung-patung yang ada di museum. “Silahkan,” namun ia tak mau banyak berharap dari pemerintah.

Jikapun kemudian museum ini diambil alih pengeloalannya oleh pemerintah, ia tak keberatan. “Saya sudah merintisnya.”

Baginya sejarawan bukan hanya duduk dikampus, menulis buku dan sekedar membaca. Bisa jadi tak banyak sejarawan lain yang mau melakukan hal yang sama denganya. Beraktivitas.

Saat ini, ia punya aktivitas baru. Menulis sebuah rubrik yang terbit setiap hari di harian Waspada. Sudut Tempo doeloe. Ia mengulas banyak hal tentang sejarah yang berbeda dari kebanyakan. Ia menulis sendiri rubrik tersebut dan melampirkan foto-foto sejarah yang selama ini ia simpan. “Saya bilang ke mereka, syaratnya harus tulisan yang memberontak atau melawan,” Ichwan menjelaskan. Dengan kolom ini, ia memancing orang untuk ikut berpartisipasi pada sejarah dan jadi salah satu caranya mencari data. Banyak intelektual yang menaruh perhatian dengan sekedar menggunting informasi yang ia tuliskan untuk kemudian dikaji. “Ini yang dinamakan sejarah interaktif.”

Penolakannya pada pencetusan Organisasi Budi Oetomo sebagai tonggak peringatan hari kebangkitan nasional juga ia paparkan jelas di rubrik sudut tempo doeloe ini. “Harusnya Sultan Cahyangan yang jadi organisasi perintis bukan malah Budi Oetomo yang anti nasional itu.”

Padahal anggaran dasar Budi Oetomo tak membenarkan selain bangsa Jawa dan Madura menjadi anggota. Jika berkenan, semua yang selain dari bangsa Jawa dan Madura hanya bisa jadi penyokong, pemberi bantuan bagi organisasi. Ichwan tegaskan, kenapa malah organisasi yang seperti itu jadi patokan hari kebangkitan nasional.
Tapi Ichwan tak pernah gusar akan penerimaan lapangan padanya, Meski tak menampik, diluar sana ada orang-orang yang yang tak sependapat dengannya, bahkan sebagiannya merasa terganggu. Menggugat Sumpah Pemuda, menolak Kartini, tak percaya pada bambu runcing tentu bukanlah sesuatu yang mudah diterima orang kebanyakan.

Semua yang ia perjuangkan memang tak dicapai dengan mudah. Penjelajahannya menemukan arsip sejarah Indonesia bahkan memakan waktu hingga tujuh tahun. Memburu arsip dan artefak, menyusuri setiap lekuk jalanan Jerman dan Belanda kala ia masih menempuh pendidikan doktor dalam bidang sejarah. Ratusan juta keluar dari koceknya. “Banyak sekali potensi untuk mengumpulkan semua barang bersejarah disana.”

Benda-benda yang kini ia simpan dan selamatkan, sebagian ditemukan olehnya tersebar di toko-toko barang antik, toko buku tua hingga pasar loak. Tak sebatas itu, perburuannya bahkan hingga ke individu-individu. Prangko dan kartu pos lama, misalnya. Kartu pos lama milik Indonesia yang dikirimkn ke Jerman, merekam jejak perjalanan bangsa. “Disana ada jejak kisah.” Ada foto dan cerita disebaliknya. Pun begitu dengan koleksi uang bersejarah miliknya. Ichwan katakan uang adalah salah satu sumber sejarah bangsa yang jarang dipergunakan.

Begitulah Ichwan berupaya menemukan kebenaran dari semua sejarah yang disajikan bangsa. Harusnya, sejarah dapat mencerdaskan bangsa dan Indonesia harus mempelajari masa lalu dengan lebih adil. Menciptakan generasi-generasi yang lebih kritis akan perjalanan bangsa sendiri. Semua sejarah yang telah dikonstruksi tersebut, harus dikonstruksi ulang kembali. “Munculkan generasi baru, serentak menyambut sejarah yang sebenarnya.”

Comments

Popular Posts