Catatan Akhir Tahun
Kekecewaan yang pernah datang, rindu yang tertahan, keinginan yang tak terwujud dan sakit yang tak terobati terbanglah bersama harapan-harapan baru. |
Sore akhir Desember tahun ini masih baik-baik saja. Masih dengan setumpuk isi pikiran yang entah kemana sedang mengembara. Menjemput pikiran-pikiran dan kejadian mulai awal tahun hingga detik di hari ini. Sesekali terlintas sesal, sekejap tersimpul senyum dan berakhir dengan helaan nafas.
Sayang simpul berakhir pada kenyataan ini bukan tahun terbaik untuk diri. Meski bukan berarti sama sekali tak ada bahagia. Ada. Tetapi kecewa dan lelah diri lebih mendominasi tahun ini. Entah mengapa.
Semua lini kehidupan jatuh di titik nadir rasanya. Tahun ini emosi dan perasaan terkuras terlalu banyak. Padahal entah untuk apa jika dipikir-pikir. Saya coba bolak-balik catatan-catatan selama setahun. Nyata, awal tahun pun ternyata saya lewati dengan tak mudah. Padahal tahun ini adalah kali pertama saya berani punya resolusi dalam hidup. Tahun ini saya coba percaya bahwa diri saya punya kekuatan yang jauh lebih besar dari yang saya pikirkan untuk mewujudkan semua yang saya cita-citakan.
Bergulat kencang dengan batin sendiri kerap tak bisa dihindari hampir setiap waktu sepanjang tahun. Dipertanyakan keberadaannya oleh orang-orang diluar sana menjadi beban tersendiri sejak awal hingga akhir tahun saya berjalan. Merasa seorang diri dan tak (ingin) punya teman berbagi apalagi. Pikiran picik yang akhirnya membuat saya mengecewakan banyak orang yang membuka diri untuk saya.
Maret. Mencoba-coba peruntungan diri tanpa diduga-duga, tanpa rencana. Menggebrak batasan diri untuk tak lagi jadi biasa-biasa saja. Bulan ini tangis sempat begitu pecah. Tajam-tajam pikiran orang menyayat kepercayaan pada diri sendiri. Tapi keputusan sudah diambil dan tak lagi ada waktu untuk memikirkan diri sendiri. Kuda-kuda strategi dibangun sejak bulan ini.
April lebih menyedihkan nyatanya. Teman-teman tempat bergandeng goyah. Jarak semakin jauh dan diri yang terlalu asik main sendiri jadi penyebab sepertinya. Peduli menguap bulan ini. Sesal datang kemudian. Menyulut tangis dan air mata (lagi).
Hingga Juni keadaan tak banyak berubah. Tapi tumpukan perasaan dan amarah semakin menggunung dalam hati. Enggan untuk diungkapkan padahal begitu sakit dipendamkan. Hati ini masih terlalu egois untuk yakin bahwa ada banyak orang yang bisa diajak berbagi. Menjadi penyebab kesakitan orang lain tak bisa terhindari dibulan ini. Rasa benci pada diri semakin menjadi-jadi.
Di bulan ini luka menganga. Ditinggal tak berkabar dua kaki yang harusnya saya pakai berjalan hingga mencapai tujuan. Uring-uringan tak terkendali. Kelemahan diri begitu mewujud. Dibulan ini saya begitu gusar. Gundah dan takut menjadi selimut.
Hal lainnya, rindu rumah semakin tak menentu. Disana, banyak hal terjadi tapi saya tak ada untuk mendampingi. Lontaran kecewa darinya tak tertahan. Maaf setelahnya pun serasa tak berguna sebab nyatanya saya yang ia harapkan menguatkannya tak ada saat ia hendak jatuh. Sorry, Mom. Saya (harus) memilih.
Vertigo. Kata yang saya benci. Saya akrab dengannya hingga Agustus menjelang. Pernahkah kau terbangun di pagi hari kaget tiba-tiba mendapati yang kau sayang menjerit-jerit, meraba-raba mencari pegangan, menggoncang tubuhmu kuat sebab merasa dunianya berputar? Saya sempat benci keadaan saat itu, sempat tak percaya Tuhan bersama saya. Ditengah-tengah masalah lain yang harus dia hadapi tiba-tiba tuhan mengujinya dengan sakit yang tak tertahan.
Sedang kewajiban lain menuntut saya untuk disana. Tapi kecintaan saya padanya membuat saya tak ingin punya pilihan lain selain disini. Cepat sembuh, Mom.
Dan September tiba. Bulan ini sedih dan bahagia beriringan. Keputusan besar itu disini lah saat mengeksekusinya. Saat yang satu kembali dan mendampingi yang satu benar-benar pergi dan harus diganti. Saya kembali berpikir untuk memutuskan banyak hal bulan ini. Dan kesuksesan itu menjadi penutup September yang membahagiakan. Terimakasih untuk semua yang telah meguatkan. Terimakasih untuk semua kepercayaan. Ya, saya mulai semuanya dengan kepercayaan dan saya akhiri pula dengan kepercayaan.
Dari proses itu saya tahu banyak hal. Mengerti orang-orang yang sebelumnya tak ingin saya mengerti. Mengenal diri saya jauh lebih dalam dari yang sekedar saya ketahui. Kesabaran yang benar-benar di uji menunjukkan saya satu hal yang tak bisa saya ungkapkan. Saya bahagia untuk saat itu.
Tapi diluar sana saya semakin hilang. Tak lagi punya rasa-rasa untuk dianggap ada. Padahal saya tau tak boleh megabaikan apapun. Saya punya tanggung jawab besar untuk sebuah alasan mengapa saya ada di kota ini sekarang. Ya, kuliah! Tak baik rasanya perjalanan di lini ini sejak awal tahun. Indeks prestasi yang turun derastis membuat saya tak baik-baik saja sebenarnya. Namun, siapa peduli. Saya yang terus tertawa mungkin mereka anggap tengah menyepelekan itu. Padahal, jauh sebenarnya saya sedang membangun kekuatan dari dalam diri untuk kembali menggapai —sesuatu yang saya sebut— kejayaan.
Sayangnya, saya tak berhasil hingga detik ini.
Oktober saya mulai punya pikiran untuk membuka hati. Sudah agak lama rasanya mengabaikan perihal ini. Sebabnya seseorang tiba-tiba datang menghampiri rasanya seperti punya episode lain yang akan saya lakonkan dalam perjalanan hidup.
Tapi perlahan saya sadar ternyata saya belum cukup siap untuk punya bagian lain dalam hidup yang saya jalankan selain dari yang sudah saya jalankan selama ini. Riskan, saya rasa.
Semuanya terkesan semu saat dijalankan. Bukan bahagia seperti yang dipikirkan. Jadilah akhirnya keputusan melepaskan saya buat. Melepaskan perasaan dan melepaskan kesempatan. Agak menjijikkan saat menuliskannya ternyata. Ah, sudahlah. Saya memilih.
Untuk masalah ini, ada yang lain sebenarnya yang juga saya harapkan. Untuk seseorang yang selama ini saya kagumi dalam diam—tapi dia adalah apa yang saya inginkan sedang saya adalah apa yang tidak dia harapkan. Tapi ini bukan perihal yang harusnya punya porsi lebih untuk saya pikirkan. Dialah mozaik yang tak apa jika tak tersusun melengkapi catatan perjalanan setahun ini.
November. Ini bulan dimana saya berpikir untuk mengakhiri semua perjalanan lama dan ingin memulai perjalanan baru. Keyakinan saya selama ini justru goyah oleh pikiran saya sendiri. Merasa tak sepaham dengan yang lain dan tak akan mampu berjalan bersama sebab punya pikiran yang berbeda cukup menghantui pikiran. Saya ragu sekaligus kecewa akan banyak hal di bulan ini. Lelah pun semakin menjadi-jadi rasanya. Muak dan benci jadi bumbu-bumbu untuk keinginan memisahkan diri. Berpikir lebih keras tak lagi ada guna rasanya, saya hampir menyerah di November ini.
Tapi angin yang entah datang darimana menghantarkan saya kembali ke pijakan sebelumnya. Takkan ada perjalanan baru meski sempat mencoba di awal Desember.
Hingga Desember tiba dan pikiran semakin berkelebat dengan banyak hal. Banyak hal-hal yang benci untuk dilakukan tapi ternyata tetap saya lakukan. Ada banyak rahasia di bulan ini. Rahasia yang akan membuat semua orang tercengang saat saling tau. Tapi biarlah itu menjadi milik saya seorang.
Akhirnya, saya dan 2014 berpisah. Ini memang bukan tahun baik sepanjang hidup saya. Meski pernah hidup di masa konflik TNI-GAM dan masa-masa bencana gempa dan Tsunami di Aceh, tapi kesedihan di 2014 lebih menohok saya. Lagi-lagi entah mengapa. Mungkin sebab terlalu banyak perasaan yang terkuras, emosi yang tak terjaga dan kepribadian diri yang tak lebih baik dari sebelumnya.
Tapi apalah gunanya sesalkan keadaan sebab meratap juga tak akan merubah apapun. Ia sudah berlalu dan menjadi sebuah catatan perjalanan hidup yang cuma perlu dipetik pelajaran darinya.
Medan
30 Desember 2014
Dear 2014, Finally We are End
Foto : Shella Rafiqah Ully |
Comments
Post a Comment