Satu Dekade Damai, Aceh Apa Cerita?

Oleh: Shella Rafiqah Ully

Satu dasawarsa berlalu, konflik senjata hanya tinggal cerita. Kini, konflik politik dan implementasi pembangunan jadi episode baru kisah damai di Aceh.
 
Foto bersama usai penandatanganan MoU Helsinki /Google.com

Sepuluh tahun sudah nota kesepahaman damai ditandatangani pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia. Janji damai antara dua pihak yang bertikai ini, jadi semacam angin sejuk penetram hati rakyat Aceh di seluruh penjuru. Setidaknya tak ada lagi kontak tembak siang hari ataupun kabar orang hilang di malam hari.

Berdasarkan catatan yang dirilis Kontras Aceh hingga September 2001 ada 1066 kasus pelanggaran HAM di Aceh saat konflik berlangsung. Pembunuhan diluar prosedur hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa hingga penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan terjadi. Dunia pun tahu, untuk sebuah Memorandum of Understanding (MoU) ini awak nanggroe harus membayar mahal dengan darah dan air mata puluhan tahun lamanya.

Tanggal 15 Agustus sejak ditandatangani satu dekade lalu, pembahasan tentang damainya Aceh selalu menarik dibicarakan, terlebih saat momentumnya diperingati. MoU ini menjanjikan kewenangan besar atas Aceh terkait tata kelola pemerintahannya. Aceh diberi hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne (MoU Helsinki tentang Penyelenggaran Pemerintahan di Aceh butir 1.1.5), hingga kewenangan besar dalam pengaturan ekonomi Aceh.

Butir 1.3.4 menyebutkan Aceh berhak menguasai 70% hasil dari cadangan hidrokarbon dan sumber alam lainnya yang ada saat ini dan dimasa mendatang di wilayah Aceh maupun teritorial sekitar Aceh. Ini adalah sejarah, tonggak kebangkitan rakyat Aceh menata kembali hidupnya di bawah pondasi perdamaian. Harusnya dengan ini rakyat Aceh bisa lebih sejahtera.

Mari lihat Aceh hari ini, apa yang terjadi setelah sepuluh tahun perjanjian damai itu disepakati?

Semua orang boleh bertepuk tangan atas terwujudnya damai secara lahir, maksudnya, Aceh kini tak lagi bergolak dalam desingan peluru. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh saat ini boleh berbangga diri saat dunia menjadikan Aceh sebagai inspirasi dan laboratorium penyelesaian konflik. Pun dengan Martti Ahtisaari, mediator perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki. Ia bahkan dianugerahi Nobel Perdamaian pada 2008 silam. Anugerah itu tentu tak lepas dari suksesnya membuat Aceh tak lagi berdentum seperti sekarang ini.

Tapi, MoU Helsinki bukan semata-mata mencapai damai setelah kesuksesan menghentikan perang. Damai lain yang juga cukup substansial adalah perdamaian setelah setiap masyarakat merasakan kesejahteraan. Toh, pada hakikatnya perdamaian berjalan beriringan dengan pembangunan, hingga rakyat sejahtera.

Sepuluh tahun berlalu, Aceh tak jauh lebih baik meski tak pula dapat kita katakan buruk. Banyak cita-cita yang belum usai dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misal, mandat MoU Helsinki tentang Hak Asasi Manusia pada butir 2.3 atas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh belum juga terbentuk. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jauh dari kata terimplikasi dengan baik. Dana otonomi khusus (otsus) dialokasikan tanpa arah. Bahkan kini, dua pemimpin tertinggi Aceh pun sedang tak harmonis hubungannya. Hal yang sangat memprihatinkan, siapa yang salah? Selayaknya kita lebih baik mencari solusi ketimbang mendebat siapa yang salah.

Khususkan saja pembahasan ini perihal kesejahteraan rakyat dan pencapaian keadilan setelah satu dekade berlalu.

Dari segi perkembangan pembangunan Otto Syamsudin Ishak, mantan ketua Komnas HAM dengan jelas sebut Aceh tengah gamang dan gagal bertransformasi dari gerakan politik ke pemerintahan. Bukan tanpa alasan, sebabnya pastilah karena meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran ditengah berlimpahnya anggaran Aceh hari ini hingga merajalelanya parktek korupsi. Padahal jelas, pemberdayaan ekonomi rakyat adalah bagian dari mandat MoU Helsinki.

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Sumatera yang menerima jatah dana otsus. Jumlahnya, 2% dari dana Alokasi Umum Nasional. Cukup besar tentunya. Tapi lihat saja bagaimana pengelolaannya sehingga kini ramai dijadikan bahan pembicaraan. Bukan tak geram rasanya mendengar pernyataan Abubakar Karim, Kepala Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh bahwa selama tujuh tahun penerimaannya Aceh sama sekali tak miliki rencana induk pemanfaatan dana otsus. Memang UUPA sudah maktubkan bidang-bidang pembangunan apa saja yang bisa dibiayai dengan dana otsus, namun tanpa rencana induk dana ini seolah dimanfaatkan tanpa arah dan fokus yang jelas.

Abubakar boleh saja bilang pemanfaatannya sudah sesuai regulasi, tapi dengan keadaan yang seperti ini sulit rasanya tak curiga dana ini dipakai suka-suka. Sayang sekali, dana yang mencapai Rp 42,2 triliun yang hingga tujuh tahun ini Aceh terima jadi tak kelihatan efektif digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Jika sudah demikian, apa yang harus kita perbuat? Pemerintah Aceh melalui Bappeda sudah tak boleh lagi 'terlalu santai' perkara rencana induk ini. Jika perlu segera bentuk tim khusus pengelola dana otsus, bahas kerangka pengalokasiannya berdasarkan hasil riset, susun rencana induk yang mengatur detail proses penggunaan, pengawasan hingga evaluasinya. Paling tidak, kedepan dana otsus ini tak hanya menguap begitu saja.

Jika tidak demikian, tanggunglah akibatnya. Besar kemungkinan Aceh akan jadi negara miskin setelah tahun 2027 kelak dana otsus tak lagi Aceh terima.

Satu dekade damai tanpa konflik senjata juga harusnya mampu dimanfaatkan pemerintah untuk mengolah perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lebih baik lagi. Dengan meyakinkan masyarakat dunia bahwa Aceh benar-benar damai, hal ini berpeluang besar menarik investor. Adalah peluang besar jika para investor berhasil di undang, lapangan kerja terbangun, tenaga kerja terserap, pengangguran di Aceh bisa diminimalkan. Dengan demikian, cita-cita damai dengan kesejahteraan tak akan jauh dari angan rakyat.

Sorotan kedua yang mengecewakan adalah masalah KKR yang tak kunjung dibangun. Ini memang kewenangannya pusat, tapi tak lepas dari tanggung jawab provinsi untuk mampu mendesak. Rakyat Aceh butuh pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mereka terima selama puluhan tahun konflik. Nasib orang-orang hilang saat konflik terjadi seolah juga hilang menguap seiring dekade berlalu. Harusnya Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) lebih gencar desak pemerintah laksanakan pembentukan lembaga KKR di Aceh.

Pemerintah RI pun kiranya harus lebih serius menjalankan perjanjian yang telah dibahas panjang lebar kala di Helsinki lalu. Jika memang ini cita-cita bersama, pemerintah lewat menteri dalam negeri harusnya segera kembalikan hasil klarifikasi qanun KKR yang pernah dibuat DPRA 2013 lalu agar pembangunan lembaga ini tak hanya sebatas wacana. Jangan lupa, ini adalah hasil perundingan yang disepakati bersama. Besar harapan agar ini tak pemerintah khianati. Takutnya, trauma konflik yang tak selesai ini malah akan bertransformasi jadi kekecewaan dan melahirkan konflik baru. Pengadilan HAM ini benar-benar harga mati bagi sebuah perdamaian yang telah RI-GAM sepakati.


Begitulah akhirnya, satu dekade bukanlah waktu yang sebentar. Pemerintah Aceh tak boleh lagi terlalu larut dalam euforia 'nyaman' setelah gencatan senjata, namun juga siap banting tulang demi Aceh yang damai lahir dan batin. Pun, dengan masyarakat. Damai hari ini ataupun kembalinya konflik esok hari adalah tanggung jawab bersama. Dan teruntuk pemimpin Aceh, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang kini 'aroma' retaknya sudah tercium di masyarakat—Berita Harian Serambi Indonesia, Minggu (9/8)— berdamailah.

Popular Posts