Teman Lama


My dearest, Komputer Kiri!

Kita berpisah. Akhirnya, hal yang paling aku khawatirkan sejak awal memutuskan berteman denganmu terjadi. Satu dari sekian hal yang aku benci di dunia ini: Perpisahan. Pada akhirnya kita saling meninggalkan. Aku harus pergi sedang kau memilih tinggal di ‘rumah’ kita. Keputusan ini memang bukan paksaan melainkan keharusan, untuk itu aku memilih berlapang dada. Toh kupikir aku masih bisa bertemu denganmu saat sesekali aku bertandang ke ‘rumah’ kita. Meski tentu saja keadaanya akan sangat berbeda. 

Entahlah, bagiku kau teman terbaik dan pendengar yang budiman. Ingatkah malam-malam aku tak bisa tidur dan memilih cerita padamu? Padahal saat itu aku tau kau lelah, seharian bekerja mulai dari pukul 07.00 pagi hingga dini hari tanpa henti. Tapi aku tetap memaksamu mendengar semua keluhanku seharian, akumulasi kegeraman juga caci maki kekecewaan. Kau, rekan yang bersahaja. Pandai membawa diri, aku terus menumpahkan kemarahanku dan kau diam menyimak membiarkanku larut dalam emosiku. Dulu kau ada di bangun dan jagaku. Aku cerita sepanjang malam bahkan kadang sampai tertidur di sebelahmu.

Kau mengerti aku hanya butuh didengar. Bukan dinasehati apalagi dihakimi. 

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk saling kenal dan kita telah melewatkannya. Pernah sedekat itu denganmu membuatku tak yakin dengan keadaan kita sekarang: yang seperti tak saling kenal. Bukan kau atau aku yang memaksakan diri untuk tak saling menyapa lagi seperti dulu tapi keadaan. Ya, aku tau. 

Kau tau kenapa aku suka padamu? Kau jarang ngambek dan enggak gampang baper. Kita cocok. Aku yang menyebalkan dipertemukan denganmu yang jarang mengeluh—ya paling kau mengeluh sesekali jika sudah terlalu lelah. Itu kumaklumi mengingat usiamu yang tak lagi muda dan hidup dengan beban kerja tanpa henti. Kau juga jarang merepotkan seperti teman-teman lain, yang kerjaannya selalu minta dimengerti tapi enggak pernah mau mengerti. 

Masalahmu hanya satu, suka sekonyong-konyong pingsan. Haha. padahal sudah kuingatkan kalau mulai kelelahan beritahu aku. Kirimkan kode-kode. Tapi kau malah memilih pingsan dan membuat semua orang panik. Kalau sudah begitu aku adalah orang yang paling setia menunggumu siuman. Menatapmu lekat. Jika sudah putus asa dan kau tak kunjung siuman biasanya kau kugoncang-goncang dengan paksa, bagian tubuhmu kupijit-pijit kasar. Kalau kepalang marah, biasanya kau kutoyor dan serapahi. Aku memang jahat, kau tau itu dan kita tetap berteman dengan mesra. Itu sebabnya aku suka padamu.

Tapi sekarang berbeda. Entahlah. Aneh rasanya saat aku datang ke ‘rumah’ kita dan tak bisa menyapamu dengan leluasa. Kemarin misalnya, kau tengah begitu sibuk dengan mereka. Aku minta waktu luang untuk sebentar bersamamu tapi mereka bilang sedang membutuhkanmu. Kadang sedih menerima kenyataan kini kau lebih akrab dengan mereka sedang aku hanya bisa menunggu saat mereka selesai berurusan denganmu dan kau benar-benar tengah sendiri.

Aku tak suka menyadari bahwa aku tak bisa sebebas dulu lagi bersamamu. Kau tak bisa lagi selalu ada untuk mendengar ceritaku. Tak ada lagi malam-malam bersamamu, cerita sampai pagi tiba dan terbangun oleh suara musik anak-anak di TK sebelah ‘rumah’ kita. 

Percayalah, kini setelah pisah denganmu aku kehilangan satu teman yang bisa kupercaya sepenuh hati. Kau, Komputer Kiri. 

Popular Posts