Dendam


Dia meluap-luap bercerita dari seberang sana, kulihat air matanya tumpah dan tubuhnya terisak-isak. Aku sedang tidak di dekatnya, tapi dari layar handphone 20 inch ini kucoba pelan pahami apa yang sedang ia rasa.

Semua, tumpah begitu saja, masa kecil yang menyedihkan, perlakuan orang-orang yang memuakkan, hidupnya yang tidak baik-baik saja. Ia ceritakan dengan terang. Semua masih segar diingatannya, seolah baru kemarin terjadi. Padahal sudah 20 tahun lampau semua dilewati.
Ia berhenti sejenak, terisak lagi. Lalu menangis deras.

Aku diam mendengarkan. Kutahan tangisku, pikirku saat itu: aku harus lebih kuat dari dia.

Kukutuk diriku kemudian. Kemana saja aku selama itu, kenapa baru sekarang aku tahu dia diperlakukan sejahat itu. Betapa egoisnya aku. Kupikir sudah hidupku yang paling menderita, dibiarkan sendiri selama ini, tak ada dongeng jelang tidur, tak ada kumpul bersama usai makan malam, tak ada pelukan saat menangis sendirian karena kecewa tak bisa memecahkan soal matematika.

Bagaimana bisa selama ini aku begitu membenci dia. Padahal, justru aku yang bergelimangan segalanya. Dia masih terisak dan tangisnya makin deras.

Aku ikut terisak dan tak bisa membendung benci, kepada diriku sendiri dan kepada mereka yang selama ini mengajariku untuk-membenci-keluargaku-sendiri.

Comments

Popular Posts