Kiamat 15 Tahun Lalu



15 tahun lalu kupikir dunia kiamat.

Aku ingat, saat itu Minggu pagi 26 Desember. Usiaku 10 tahun. Aku sedang menonton doraemon sambil menunggu nenek selesai masak nasi goreng untuk sarapan. Tiba-tiba, botol kecap di atas meja jatuh, belingnya pecah, dan isinya tumpah ke lantai. Lemari, televisi, meja, bergoyang kencang. Aku panik, takut, dan bingung sampai akhirnya dari dapur nenek berlari dan menarikku ke luar rumah. 

Di luar, orang-orang sudah berhamburan menyelamatkan diri, takut-takut ada reruntuhan.

Goncangan bumi hari itu kian kencang dan tak kunjung berhenti rasanya. Aku menangis ketakutan dalam pelukan nenek yang terlihat tenang sambil terus bertasbih dan takbir. Kulihat tiang listrik nyaris tumbang, pohon di halaman bergoyang seperti sedang dihempas tangan raksasa, langit mulai gelap, kupikir dunia benar-benar kiamat.

Sesaat setelah gempa, beberapa rumah tetangga runtuh bangunannya. Listrik mati, sinyal terhenti, sehingga tak ada yang bisa dihubungi. Gempa tak kunjung berhenti, hanya berkurang frekuensinya, bumi terus digoyang gempa-gempa susulan. Sampai kemudian terdengar teriakan dari ujung jalan, "air laut naik.. air laut naik.." kulihat orang-orang berlarian tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

Berhari-hari kemudian barulah kita mengerti yang terjadi pada hari itu adalah tsunami.

Malam-malam panjang setelah 26 Desember adalah duka, luka, takut, dan hari-hari dengan trauma. Aku ingat setiap malam setelahnya semua orang tidur di teras atau halaman rumah dengan pakaian lengkap dan tas berisi pakaian di sisi kepala agar bisa langsung lari menyelamatkan diri jika ada kemungkinan tsunami kembali. Tidak ada yang berani tidur di dalam rumah, was-was jika gempa susulan merobohkan rumah.

Masih kuingat jelas hari-hari menyedihkan tiap kali mendapat kabar tentang; teman bermain yang jenazahnya tak ditemukan saat tsunami, tetangga yang anaknya meninggal karena terbawa gelombang, dan duka-duka lain yang baru bertahun kemudian dapat pelan disembuhkan.

Aku, rumah, dan keluargaku mungkin beruntung karena tidak terdampak langsung tsunami. Tapi, duka Aceh kala itu ya tetap duka bersama. Lukanya tentu kita semua rasa. Bahkan, untuk berdamai dengan lautan kita semua butuh waktu yang tak sebentar.

Comments

Popular Posts